Anak Perempuan Pertama: Tentang Tanggung Jawab yang Tak Terucap
Halo, Teman Baca.
Vina nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi hari ini, Vina ingin bercerita—tentang seseorang yang (mungkin) kamu kenal juga: Anak Perempuan Pertama.
Anak yang sering dipanggil “kakak” dengan nada otomatis.
Anak yang katanya kuat. Katanya bisa diandalkan.
Anak yang sering kali disebut "tulang punggung" — bukan karena dia tinggi atau gagah, tapi karena memang seluruh bebannya ada di sana.
Vina tahu banget rasanya.
Ada masanya Vina hanya menjalani hari seadanya.
Bukan karena nggak punya impian, tapi karena terlalu sibuk jadi penyangga kehidupan orang lain.
Ada hari-hari di mana satu-satunya yang Vina kuatkan... ya diri sendiri.
Nangis dalam hati, tapi tetap senyum di luar.
Capek banget, tapi ya tetap jalan.
Karena siapa lagi?
Karena keluarga ini masih butuh.
Karena kalau Vina tumbang, entah apa yang ikut roboh.
Kadang bukan karena nggak mau cerita,
Tapi karena... menceritakannya saja sudah terlalu menyakitkan.
Terlalu berat. Terlalu rumit untuk dijelaskan.
Dan akhirnya, dipendam. Disimpan di tempat paling dalam.
Lucu ya, jadi anak perempuan pertama itu.
Dikasih beban tanpa diminta persetujuan. Kayak, "serius ini harus Aku banget?"
Diharapkan kuat, padahal lagi nahan tangis.
Tapi tetap aja... Alhamdulillah, disayang diam-diam oleh semesta.
Ada saja manusia lain yang datang, sekadar menghibur dan menemani jiwa yang kesepian.
Dan entah gimana, kita tetap bisa bangun lagi.
Tetap bisa jalan lagi, dengan kuat.
Tetap bisa bilang: "nggak apa-apa,"
...meski dalam hati bilang: "YA SEBENARNYA APA BANGET NIH!"
Vina nggak nulis ini buat cari simpati.
Bukan. Blog ini nggak berubah haluan jadi mellow diary kok.
(Tenang aja, masih ada unsur random dan receh di sini, hehe.)
Tapi tulisan ini Vina tulis sebagai pengingat,
Kalau kamu, kita, dan seluruh anak perempuan pertama di mana pun berada — kita nggak sendirian.
Vina yakin, Allah selalu kirim orang-orang baik untuk nemenin kita di waktu yang paling sunyi.
Jadi, jangan lupa berterima kasih pada diri sendiri.
Karena sudah hebat dan kuat. Karena itu... sulit, lho.
Terima kasih sudah kuat (sambil peluk diri sendiri).
Terima kasih sudah bertahan, bahkan saat kamu nggak tahu harus bersandar ke siapa.
Terima kasih sudah terus jadi cahaya di rumah,
...walau sering lupa nyalain lampu buat diri sendiri.
Sebelum hidupin lampunya, pastikan kamu sudah bayar listrik, ya! Hehe.
Vina masih belajar pelan-pelan buat jujur.
Buat bilang, “aku capek.”
Buat kasih ruang buat diri sendiri.
Dan hari ini, tulisan ini adalah bentuk pelukan dari Vina
untuk semua kakak perempuan di luar sana— yang lelah tapi nggak pernah bilang.
Yang rapuh tapi masih berusaha tegar dan berdiri kokoh,
ngalahin pohon pinang sebelum dipanjat pas 17-an.
Vina peluk kamu dari jauh ya.
Bukan, bukan modus ini... beneran ini.
Karena kita layak untuk ditenangkan,
bukan cuma jadi penenang.
With heart,
Elvina Yanti
Post a Comment for "Anak Perempuan Pertama: Tentang Tanggung Jawab yang Tak Terucap"
Terimakasih telah memberikan komentar di kicauanvina.com ^.^